
Sumber: pmjnews
Kontestasi Pilkada tahun 2020 merupakan
Pilkada yang akan di gelar serentak se-Indonesia. Berbagai media online
menyebukan Pilkada tahun 2020 direncanakan akan dilaksanakan pada tanggal 23
September yang dilikuti sebanyak 270 Daerah dengan rincian 9 Provinsi, 224
Kabupaten dan 37 Kota. Pergantian masa jabatan para pemimpin daerah atau
petahana yang kembali mencalonkan diri dalam mempertahankan posisi jabatan
sebagai kepala daerah tentu hal ini di pandang tidaklah mudah jika sebelumnya
memunculkan beragam spekulasi dan inventasi (politik dan sosial) dari
masyarakat terhadap kepemimpinannya. Sebagai petahana, hal tersebut sudah
barang tentu bersaing kembali dengan calon pemimpin lainnya untuk memperebutkan
sebuah "Tahta Kekuasaan" yang dinilai membawa kemajuan pada daerah.
Hal tersebut diyakini akan menimbulkan adanya politik
pencitraan hingga serangkaian serangan hoax pada petahana atau calon
kandidat, sehingga terindikasi adanya kemunculan hoax trend yang mulai
menggaung kembali dalam kontestasi pemilihan kepala daerah pada tahun 2020.
Menelisik kalimat 'Politik Dikejar
Waktu' dinilai cocok bagi para calon kandidat Pilkada tahun 2020 yang diusulkan
oleh masing-masing-partai pengusung, menariknya seketika dimana akhir-akhir ini
sedang gencar-gencarnya melakukan pencitraan secara masif, beragam strategi
politik digunakan untuk menggaet dukungan dari masyarakat, sedangkan jadwal
pelaksanaan pendaftaran calon candidat akan berlangsung pada bulan Februari
2020 (untuk calon gubernur) dan bulan Maret 2020 (untuk calon bupati dan calon
walikota). Hal ini tentunya menjadi kesempatan emas bagi partai politik dan
juga calon kandidat Pilkada yang walaupun belum tentu bisa lolos dalam tahapan
seleksi Pilkada tahun 2020, namun telah mempersiapkan diri jauh-jauh hari untuk
berpartisipasi serta bersedia menyatakan keikutser-taannya dalam menghadapi
kontestasi Pilkada tahun 2020, yang mana dalam pengumuman resmi oleh Komisi
Pemilihan Umum Republik Indonesia bagi para kandidat (resmi) memulai
pelaksanaan kampaye Pilkada serentak pada tanggal 1 juli 2020 hingga 19
September 2020.
Demi membangun citra politik, para
calon kandidat dalam kontentasi Pilkada 2020 seringkali
mencuri start kampaye (pencitraan) dalam bentuk berkomunikasi dan berinteraksi
dengan melibatkan masyarakat, misal terjun langsung/ hadir di tengah-tengah
perumahan padat penduduk (blusukan) untuk menemukan permasalahan dan mencari
solusinya, kemudian keterlibatan di setiap acara atau event kepemudaan atau
organisasi masyarakat sebagai sponsor utama, selanjutnya kegiatan-kegitan
tersebut di posting dalam sosial media dan media massa sebagai awal political
branding oleh para calon kandidat. Hal ini dinilai sebagai model strategi
komunikasi politik yang bertujuan untuk mendapat dukungan secara maksimal dari
masyarakat. Dengan demikian, pencitraan melalui media massa dan juga media
online menjadi lahan strategi dan modal sarana yang paling ampuh dalam
berinteraksi dan berkomunikasi untuk meningkatkan popularitas diri dengan
melalui dukungankan dari teknologi informasi dan komunikasi di era digital
seperti media online dan media massa.
Pasatnya pemanfaataan media massa dan
juga media online untuk wadah penyampaian pesan-pesan politik, kemudian
pencapaian diri, serta rancangan strategi pembangunan yang digembar-gemborkan
oleh para calon kandidat dinilai sangat strategis yang dimana bertujuan untuk
memperoleh elektabilitas di tengah-tengah masyarakat. Strategi seperti diatas
rupanya sudah jamak dilakukan dalam dunia perpolitikan dan memiliki peluang
yang besar dari penggunaan media massa, mengingat penggunaan media massa
semakin hari mutlak bertambah dan dapat menimbulkan efek tertentu bagi perilaku
pemilih. Menurut penelitian Gayatri (2010) dalam (Andriyani, 2018)
mengungkapkan bahwa strategi kampanye dengan menggunakan media massa dan media
online terbukti menimbulkan efek tertentu pada masyarakat, seperti
perubahan-perubahan opini, persepsi, sikap/ perilaku hingga perubahan sistem
sosial di masyarakat.
Generasi
millennial dan post-millennial menjadi salah satu diantara sasaran
utama para calon kandidat Pilkada 2020 untuk meraih dukungan sebagainya yang
mana generasi millennial dan post-millennial terindikasi mendominasi di media
online sebagai "Penghuni Internet", sehingga kerapkali generasi ini
terjebak dengan berbagai pemberitaan palsu (Hoax) dan beragam ujaran kebenjian
di media daring tersebut. Trend pemberitaan palsu (Hoax Trend) sebuah fenomena
terjadinya penyebaran berita bohong dikhalayak umum. Hal tersebut dinilai salah
satu penyebab karena adanya ketakutan ketika ketinggalan sebuah trend berita,
sehingga kerap kali para awak media (journalist) dinilai sebagai salah satu
akar yang menyebarluaskan pemberitaan palsu yang berdampak pada beragam
spekulasi di kalangan masyarakat khususnya generasi millennial dan
post-millennial yang terindikasi.
Adanya peningkatan penyebaran
pemberitaan palsu (hoax trend) setiap tahun tentu hal yang menakutkan bagi
mayoritas individu dan/atau golongan, karena kemunculan trend hoax akan adanya
pihak-pihak yang dirugikan, terlebih trend tersebut muncul dan mewarnai di
kanca perpolitikan, dimana dinilai bahwa adanya peningkatan trend hoax secara
signifikan di tahun-tahun politik. Dari hasil penelitian oleh Mastel
(2017) sebuah lembaga nirlaba yang bergerak pada bidang teknologi informasi,
komunikasi dan penyiaran, bahwa "Hasil Survey Wabah Hoax Nasional
2017" dari 10 jenis hoax yang sering diterima oleh pengguna media online
yang telah ditentukan sebelumnya bahwa jenis hoax di Bidang Sosial-Politik dinilai
jenis hoax yang sangat tinggi pengaruhnya di media sosial sekitar 91.80%.
Kemudian bentuk hoax yang diterima berupa Tulisan 62.10%, gambar 37.50%, dan
Video 0.40%. Lebih lanjut, saluran penyebaran berita hoax yang paling tertinngi
diterima melalui Media Sosial (Facebook/ Twitter/Instagram) sebesar 92.40%,
selanjutnya disusul Aplikasi Chatting (Whatsapp, Line, Telegram) yang mewarnai
penyebaran pemberitahan palsu (hoax trend) di media online.
Data di atas menyimpulkan bahwa
narasi-narasi politik di saluran media sosial sangat berpengaruh besar terhadap
eksitensi para calon kandidiat Pilkada dalam meraih dukungan, dan juga ditambah
dengan adanya generasi millennial dan post-millennial sebagai pengguna media
sosial tertinggi, sehingga mereka ini menjadi target utama dalam penyebaran
pesan politik (penyaluran informasi) hingga akan terjadi kerentanan pada
peredaran berita dan informasi palsu di media sosial. Dengan demikian, para
generasi millennial dan post-millennial harus dapat mampu memilah pemberitaan ataupun
konten yang disuguhkan dalam saluran media sosial yang belum tentu kebenaran,
sehingga generasi ini harus lebih selektif serta reaktif apabila adanya berita
bohong dan ujaran kebencian.
Di era digital, generasi millennial dan
post-millennial diperlukan lebih dari sekedar melihat dan membaca, namun lebih
dari itu harus mampu bisa menyikapi pemberitaan palsu (hoax trend) dengan
memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi sebagai media pembelajaran
(political literacy), hadirnya literasi politik di era
digital melalui media online seperti didalamnya terdapat jurnal,
artikel, berita atau mencari informasi melalui televisi, radio, media sosial
dan lain-lain sebagai wadah pembelajaran (bahan pertimbangan informasi) yang
mana hal tersebut dinilai merupakan salah satu kegiatan literasi politik yang
posistif untuk mencari kebenaran dari informasi mengenai karaktersitik
kepemimpinan transformatif dari para calon kandidat dalam kontestasi Pilkada
2020 nantinya.
Melalui pemanfaatan teknologi tepat
guna dapat meningkatkan kemampuan dan keterampilan seseorang dalam berpikir
yang menggunukan sumber-sumber pegetahuan berbentuk visual dan digital dalam
menemukan informasi dan memilah dari sekian banyak yang terindikasi adanya
pemberitaan palsu seperti alamat website yang dicurigai/ keganjalan terdapat
pada domain dari media sosial (situs website), sehingga kemampuan diri para
generasi millennial dan post-millennial dalam literasi politik tersebut akan
mampu berjalan sendiri dan kecendrungan dapat memaknai karakteristik dari calon
kandidat Pilkada serentak tahun 2020 yang mengutamakan (bersifat) substansial
dan berpengaruh bukan sekedar pencitraan semata. Dengan demikian, gerarasi
millennial dan post-millennial mampu mengakses dan memahami konten hingga
menyebarluaskan pemberitaannya dengan pemahaman literasi politik. Pada
akhirnya, generasi millennial dan post-millennial dapat membandingkan antar
calon kandidiat untuk periode kepemimpinan kepala daerah tahun 2020-2025.
Daftar
Pustaka
Andriyani, T., Zahra, S., & Swasti, D. D. (2018).
Gambaran Pola Identifikasi Generasi Milenial Dalam Memilih Tokoh Politik
Melalui Media Sosial. Prosiding Konferensi Nasional Peneliti Muda Psikologi
Indonesia, 3(1), 1-11.
Mastel. (13 Februari 2017). Hasil Survey Wabah HOAX Nasional
2017. Dikutip melalui laman https://mastel.id/hasil-survey-wabah-hoax-nasional-2017/ (Pada tanggal 28 Agustus 2019)
*Al Fauzi Rahmat: Mahasiswa Magister
Ilmu Pemerintahan UMY
Artikel
diatas telah di muat di:
https://gentrapriangan.com/politik-pencitraan-dan-hoax-trend-menjelang-pilkada-2020/